02 June 2020

Why need to be shy with your emotion?

Hai lagi, sebagai pembayar hutang karena beberapa minggu ke belakang jadi akan ada weekly post sampai beberapa minggu ke depan. Sebenernya kalau ingat dan tau mau nulis apa sih, tapi kebetulan lagi banyak topik yang mau dibahas jadi... ya gitu deh haha.

Pada kesempatan kali ini, gue lagi-lagi mau membahas soal perasaan karena memang gue sendiri lagi metal (mellow total) hahaha 😂. Kali ini gue mau membahas fokusnya ke mas-mas pria sih, karena gue akan membawa lo semua ke dunia "toxic masculinity" di Indonesia, khususnya di lingkungan gue.

So soft your cushion, tight your seatbelt, and prepare to open your head cos this topic is quite sensitive and maybe not your cup of tea.

----------------------------------

Sebelum dimulai, sebenernya apa sih "Toxic Masculinity" itu?
Mudahnya, gue bakal mengambil ini dari Urban Dictionary disini, karena kalau dari Wikipedia bahasanya belibet 😂.

The definition...
Nah dari cuplikan sekilas, sudah tau dong kenapa judulnya kayak begitu?

Sudah lama kalau pria-pria dengan emosional tinggi dan meledak-ledak itu adalah pria-pria melambai. Tapi emosional yang dimaksud disini bukan marah atau gimana gitu, lebih ke emosi yang sedih, stress, depresi dan sejenisnya, sementara emosi yang agresif seperti marah, ngebentak, dan lain-lain itu adalah jenis-jenis emosi yang laki banget. Umum kalau kita tau Indonesia itu akar patriarkinya masih kuat dan banyak orang tua kita yang nggak hanya yang pria, tapi yang wanita juga menanamkan "toxic masculinity" ini ke anak lakinya, bahwa cowok nangis itu ya lemah, cowok itu nggak boleh sedih et cetera.

Padahal, sedih, stres, bahkan meluap sampai menangis itu adalah emosi yang perfectly normal, but dunno why associated with women. Banyak anak laki-laki dibesarkan untuk menjadi maskulin, sedikit emosi, banyak agresi, terpatok pada tujuan dan wanita itu kodratnya ada dibawah laki-laki. Nyatanya, wanita dan laki-laki dibuat setara, dan seharusnya setara. Saat ada pada hubungan, seharusnya itu seimbang, sama-sama saling menjaga. Itulah kenapa sering banget yang namanya selingkuh diasosiasikan sama laki-laki, karena ya laki-laki dibentuk sebagai pemburu, bukan diburu, sementara wanita kenapa bisa selingkuh, karena terbentuk menjadi barang buruan.

Seringkali terjadi ada kondisi dimana 2 wanita mengejar 1 laki-laki tapi jarang banget ada 2 laki-laki rebutan 1 wanita. It's uneven from the start.

Menurut gue, seharusnya anak laki-laki diajarkan bukan untuk meredam emosinya, tetapi mengontrol emosinya. Perlu sesekali mengeluarkan emosi-emosi ini di safe space supaya nggak terbebani dan akhirnya malah mengarahkan emosi tersebut ke agresi. Karena agresi mengarah ke kekerasan, baik dalam hubungan pacaran atau malah dalam hubungan rumah tangga. Jadi seharusnya saat stres dan emosional, jawabannya adalah curcol bukannya stres malah pergi memburu dan melampiaskan ke orang lain, karena perasaan orang lain juga harus dijaga kan.

"Love when you are ready, not when you are lonely" - anonymous


Menurut gue juga, seharusnya anak perempuan bukan diajarkan untuk memuja maskulinitas, tapi bagaimana cara menilai diri mereka sendiri. Sometimes this toxic masculinity degrades women, make them seems got no value and co-dependent with their partner. This is wrong and leads to toxic relationship.

Balik lagi masalah toxic masculinity. Gue aware soal ini, tapi apakah gue sukses? Ngga juga.
Kadang susah buat nemuin safe space ini, tanpa ada judging ataupun ide-ide toxic masculinity seperti celetukan "lo kan cowok ga gini-gini-gini". Tapi yang paling penting itu adalah progress! Karena gue aware gue akan terus mencoba untuk menjadikan normal bahwa kita manusia memang manifestasi ego dan emosi, dan sudah seharusnya kita menjadi emosional.

So, why need to be shy with your emotion?
Get off the steam and back rolling again!

1 comment:

  1. Menurut gue, seharusnya anak laki-laki diajarkan bukan untuk meredam emosinya, tetapi mengontrol emosinya
    I like that :)

    ReplyDelete