14 April 2020

Jakselian: the future big thing!

Kembali lagi bersama gue, kali ini sesuai dengan judulnya gue bakal bicara soal... Jakarta Selatan...

Buat yang baca-baca post gue yang lama, mungkin sadar bahwa biasanya gue selalu update dengan current trending, seperti gue membahas Uang Elektronik dan juga Online vs Offline Ride-hailer. Seharusnya gue memang bahas COVID-19 dan novelCoronavirus, tapi gue kembali berpikir, apakah gue harus membahas itu?

Sudah banyak yang bahas soal COVID-19 dan novelCoronavirus, itu adalah alasan pertama kenapa gue reluctant untuk membahas soal si penyakit yang lagi heboh ini. Kedua, gue basicnya bukan pekerja bidang kesehatan ataupun komunikasi publik, terlebih lagi gue tidak update dan menolak update mengenai si virus ini. Bukannya karena gue cuek atau tidak percaya sama si virus ini, tetapi lebih ke pembaharuan berita mengenai virus ini di media online sudah terlalu banyak dan banyak simpang siurnya daripada benarnya. Ketiga, gue juga tidak terlalu mengerti soal menyoal kebijakan publik, walaupun gue suka ngomongin kebijakan publik di Twitter sih (cek sidebar!).

Jadi menjadi, gue akan membahas soal pusat peradaban pergaulan ibukota... Jakarta Selatan! Hereeeee we goooo!!

-------------------------

Berbicara soal pusat peradaban kota Batavia alias Jayakarta alias Jakarta sebenarnya jauh sekali dari yang namanya Jakarta Selatan. Pusat peradaban kota Batavia ini sebenarnya terletak di Jakarta Pusat, lebih tepatnya daerah Menteng dan sekitarnya, kenapa? Karena memang dulu Jakarta berkembang mulai dari sini.

Itu juga penyebab kenapa banyak infrastruktur jaman Belanda paling banyak adanya di sekitaran Jakarta Pusat ini. Mulai dari Banjir Kanal Barat yang membentang dari daerah Gambir menuju Cideng sampai Cengkareng, Sungai Ciliwung lama dan pintu airnya di dekat Masjid Istiqlal, dan juga berbagai ornamen-ornamen khas asimilasi budaya Eropa, Pecinan, dan Jawa di sekitaran Pasar Baru.

Gerbang Pasar Baru dan bangunan disebelahnya... (sumber: Google)
Kisah tentang Jakarta Selatan dimulai saat Jakarta Pusat dan Utara mulai penuh sama pedagang tapi kurangnya tempat tinggal buat mereka. Dulunya Jakarta Selatan masih berupa hutan-hutan tidak jelas yang kadang ada rawanya (daerah Kemang, Bangka, Bukit Duri) kadang berbukit berbukit (daerah Cilandak, Jagakarsa). Lalu mulailah pedagang-pedagang Arab membuka area perumahan bukan di Puncak tentu saja, tetapi mulai di daerah yang kita kenal sekarang sebagai daerah Kemang. Sementara pejabat-pejabat Hindia Belanda dan pedagang-pedagang Eropa membuka perumahan mereka di daerah yang sekarang kita kenal dengan Kebayoran. Kisah tentang Jakarta Selatan dimulai...

Lo pernah bingung tidak sih kenapa di Kemang banyak banget bar, pub, restoran, dan sejenisnya? Karena Kemang ini bisa dibilang daerahnya pendatang, setelah orang Arab masuk ke Kemang (alasan kenapa banyak restoran Turki/Arab di Kemang), orang Belanda sama Inggris liat, 'wah kayaknya asik juga nih Kemang'. Ikutan lah mereka berpindah ke Kemang. Itu alasan kenapa Kemang ramai dengan segala bar, pub, dan restorannya yang temanya kurang lebih mirip-mirip dan ala Eropa Barat dan Timur Tengah.

Beda Kemang, beda lagi cerita Kebayoran, Kebayoran merupakan tempat yang dikembangkan setelah kemerdekaan Indonesia. Tujuannya? Buat menciptakan perumahan buat warga dong, mangkanya ada Blok A-S disiapin. Setelah kemerdekaan, bisa dibilang pusatnya Jakarta Selatan ada di Kebayoran ini. Blok-blok ini tidak hanya menyediakan tempat tinggal tetapi juga tempat komersil, ada 3 blok, tapi sekarang yang kita tahu tinggal Blok M saja, yang dulunya juga ada pabrik percetakan uang Perum Peruri disana (sekarang jadi M-Bloc). Kebayoran ini juga menjadi koneksi antara daerah Selatan dengan pusat kota di daerah Gambir, Menteng, dan sekitarnya melalui Jalan Sudirman.

M-Bloc Space. dok. Pribadi
Kalo Jakarta Selatan paling Selatan alias Lenteng Agung, Jagakarsa, Ciganjur dan sekitarnya adalah penduduk asli Jakarta yang sebenarnya. Disini adalah pusatnya orang Betawi, yang dulu bagi-bagi tanah dengan matok saja. But seriously, teman gue asli Betawi, tinggal di Jagakarsa, tanahnya luas banget, cerita dari kakek-kakek buyutnya-kakeknya, adalah karena kakek-kakek buyutnya-kakeknya lebih cepet dalam matok tanah disitu. Selain itu disini juga pusat kebudayaan Betawi berada dan dilestarikan, kapan-kapan akan diulas mengenai Kampung Budaya Betawi Setu Babakan disini, stay tune!

Menuju pusat peradaban pergaulan Jakarta pada masa kini. Gue ingat baru beberapa hari lalu gue liat video ini di Twitter.
Video itu nyebutin tempat-tempat nongkrong ala-ala lounge dan bar yang umum ditemuin di Jalan Senopati (atau Senoparty 😤), tempat paling hits se-Jakarta raya sekarang sepertinya. Tapi gue setuju dengan si pembuat tweet, sebagai orang yang lahir, tumbuh, dan berkeliaran sejak 25 tahun lalu di Jakarta Selatan, buat gue Jakarta Selatan itu ya bukan itu.

Bagi gue Jakarta Selatan itu Pondok Indah, Blok M, Blok S, Kemang, Cilandak, Tebet... Gue pernah nongkrong di salah satu tempat yang disebutin di video, but it is not everyday hangout place lol. Paling biasa untuk nongkrong adalah... PIM, Deha (McD Deha lol), Citos, Blok M dan sekitarnya. Semenjak ada Kemvil, boleh lah sekali-kali Kemvil, walaupun gue adalah orang yang tidak suka sama sekali sama Kemvil (padahal deket kantor dan lengkap).

Kenapa gue pede bilang Jakarta Selatan itu cuma segitu, karena coba deh cek setiap malam minggu pasti daerah di Jaksel yang bener-bener packed dan fullbooked ya tempat-tempat itu. Gue masih inget bagaimana gue sore-sore ke PIM dan duduk saja di Area 51 karena kalau tidak dari sore, pasti Area 51 sudah penuh banget sementara nongkrong hemat di PIM itu yaaaa di Area 51 hahaha. Gue nongkrong di PIM dari masih ada KFC sampai sekarang sudah lengkap banget mau makanan apa saja segala model ada, dari memanjakan mata di Toys R Us adalah kebahagian bocah sampai sekarang sudah tidak ada lagi, dan berenang di kolam renang PIM itu adalah sebuah kemewahan dan kebahagiaan tentunya dengan perosotan-perosotan itu. Sama pula dengan Citos, McD Deha, dan tempat-tempat lainnya.

Gue seneng banget sama Jakarta Selatan. Bagi gue, Jakarta Selatan itu bagaikan New York. This is the most prestigious and highest income borough in Jakarta Raya. Satu-satunya yang tidak membuat Jakarta Selatan itu New York adalah Jakarta Selatan bukan yang terpadat di Jakarta Raya. Then if New York has New Yorkers, Jakarta Selatan has "Jakselian"...

Gue masih tidak mengerti kenapa orang Jakarta Selatan manggil diri mereka South Jakartans, which sounds like demonyms but it's too looong. South Jakartans is perfect demonyms karena orang Jakarta juga disebutnya Jakartans, tetapi impractical karena kepanjangan... Why we don't use "Jakselian" instead? It is practical and have all the requirements to be demonyms. Gue sudah ngecek Quora untuk ini dan gue menemukan ini.

The Formula of Demonyms

The basic formula is X (City/area-name) + (i)an. South Jakarta(ns) is demonyms but like I said, it is impractical, so I propose Jaksel(ian) which is also met the formula and more practical!

Tapi.... kenapa sih harus ribet banget? No reasons actually
Karena lucu saja, kita semua tahu anak gaul Jaksel atau orang-orang Jaksel has high proud of themselves. Bahkan orang Tangsel saja mau ngaku jadi orang Jaksel saking lebih seringnya mereka di Jaksel daripada di Tangsel. Bahkan taglinenya Abnon Selatan itu #ProudtobeSouth. We are like New Yorker who don't like any Jerseysite who claim themselves as a New Yorker. Jakarta Selatan bener-bener terkenal dengan segala hedonism dan prestigious of theirs and the area, even though sebenernya ada juga daerah Jakarta Selatan yang masih berupa kampung, well di New York juga ada kampung hahaha. Jadi akan normal dengan segala kerasisan pergaulan ini kalau penduduk asli Jakarta Selatan punya demonyms untuk mereka sendiri dalam bentuk "Jakselian". I believe this will be a thing in the future, the future big thing!!

Bagaimana dengan daerah Jakarta yang lain? Well, gue bakal bahas daerah Jakarta yang lain selain Jakarta Utara dan Pusat di post yang lain. Jakbarians dan Jakpusans, be prepared!!

1 comment: