01 April 2020

Di antara percaya dan tidak percaya

Seperti janji gue di postingan sebelumnya, gue akan bercerita mengenai di antara percaya dan tidak percaya. Gue sih harus memperingatkan kalian bahwa ini bukan pendoktrinan atau penghasutan, hanya sekedar berbagi pengalaman bagaimana pencarian gue berakhir dan menemukan ketenangan (atau yang gue rasa seperti itu, sampai saat ini).

Gue tidak berharap kalian mengikuti gue dan menurut gue juga seharusnya tidak usah ikutan memang, kecuali memang pencarian kalian berakhir pada jalan yang sama dengan yang gue tapaki. Gue tidak mau ini nantinya berakhir menjadi isu SARA atau apapun, so please read it for fun and for your own amusement.

Tanpa berbasa-basi, mari kita mulai...

----------------------------------------------

Apa agama lo sekarang? Pernah nggak sih lo bertanya kenapa lo memeluk agama yang lo anut saat ini? Biasanya karena orang tua nyuruh lo untuk mengikuti mereka?

Normal, gue dulu juga begitu kok. Sampai akhirnya bermula ke cerita yang akan gue tulis saat ini. Cerita tentang perjalanan spiritual gue.

Pada 2009, gue main game roleplay online yang namanya eRepublik.com (masih bisa di klik kalo lo mau coba daftar 😉). Disana gue ketemu hal-hal lain dari Indonesia dan dunia, karena game ini roleplaynya roleplay negara dengan segala perpolitikannya dan tentunya dengan segala macam garis politik dan ideologinya, untuk bersenang-senang.

Dari game itu gue lompat ke SMA pas gue mulai belajar sosiologi dan mulai kenal dengan nama-nama yang umum kita dengar pasti seperti Friedrich Engels, Leon Trotsky, dan tentu saja Karl Marx. Mendengar nama Karl Marx tentunya pasti kenal dengan quotes Karl Marx yang terkenal

"Religious suffering is, at one and the same time, the expression of real suffering and a protest against real suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people. The abolition of religion as the illusory happiness of the people is the demand for their real happiness. To call on them to give up their illusions about their condition is to call on them to give up a condition that requires illusions"

Sengaja full quote, biar konteksnya nggak hilang. Tapi waktu gue masih SMA gue nggak terlalu paham dengan arti kutipan tersebut dan semua berlalu begitu saja.

Sampai akhirnya gue masuk kuliah. Gue masuk kuliah sebenernya nggak ada sangkut pautnya sama Filsafat ataupun ilmu-ilmu sosial lainnya, tapi karena gue aktif di organisasi mahasiswa, bagaikan takdir mempertemukan gue kembali dengan filsafat. Kali ini gue bertemu dengan filsafat bersama dengan mentor, yang tidak lain tidak bukan adalah senior gue sendiri, disitu kembali gue kenalan kembali dengan Engels, Trotsky, Marx, dan dedengkotnya mereka, Hegel. Sampai saat ini gue masih suka nyebut Dialectism sebagai Senam Hegel untuk mempermudah mengenalkan orang mengenai arti dari diskusi wkwkwk.

Mendalami Hegelian dan metafisis, lalu gue aktif juga di salah satu sosmed tanya jawab dan mulai kenalan dengan agnostik. Peragnostikan ini menarik buat gue, salah satunya karena para admin sosmed agnostik ini wawasannya luas-luas, ada yang bilang kalo suatu kaum selalu mencirikan sesuatu dan yang gue liat dari si admin-admin ini adalah berwawasan luas, pandai, dan open-minded karena sebigot apapun pertanyaan yang dilempar ke mereka, mereka selalu bisa menjawab dengan tone tulisan yang normal-normal saja.

Dari saat itu, gue sudah mulai jarang beribadah, setelah kegagalan gue tidak masuk ke PTN sekalipun gue sudah berdoa dan berkerja keras, gue rasa kayaknya ada yang salah dengan ini semua. Lalu tidak lama kemudian, ada ormas keagamaan yang sama dengan gue, membuat kerusuhan di bulan Ramadhan tahun itu. Kembali lagi, suatu kaum selalu mencirikan sesuatu dan gue tidak mau diasosiasikan dengan kaum vandalis yang beragama sama dengan gue ini. Akhirnya gue memutuskan untuk berhijrah... menjadi agnostik sepenuhnya.

Dalam agnostik sebenernya adalah gabungan dari 2 kata dalam bahasa latin. A berarti tidak dan gnostik berarti pengetahuan, agnostik sebenernya daripada disebut agama lebih tepatnya ketidaktahuan mengenai agama. Beda dengan atheist yang tidak percaya adanya agama dan Tuhan, agnostik lebih meragukan adanya agama dan Tuhan. Seperti teori Schrodinger's Cat, karena kita tidak tahu kucing di dalam kotak itu masih hidup atau tidak, kita berada di antara ketidaktahuan tersebut.

Agnostik sendiri ada 2 aliran lagi, ada agnostik atheist, yang memang tidak tahu dan tidak mau tahu mengenai agama, ada juga agnostik theist, yang tidak tahu tapi masih mencari tahu mengenai agama. Gue rasa gue lebih ke agnostik theist saat itu. Karena di saat medio yang sama gue juga mulai belajar lagi mengenai agama-agama lain, terutama agama abrahamic.

Living as an agnostic, meragukan agama dan Tuhan membuat gue lebih percaya sama tangan dan usaha gue sendiri. I'm restless and relentless on pursuing things I want, bener-bener setotal itu karena gue tidak tahu apakah ada omnipotent atau hal-hal metafisis lainnya yang membantu gue selain usaha dan tangan gue sendiri. Hal ini juga membuat gue selalu mau mempunyai kontrol akan berbagai macam hal, terutama yang menyangkut gue di masa depan baik pendek maupun panjang. Keinginan dalam kontrol ini membuat kepala gue terus berputar kencang memikirkan segala outcome yang mungkin terjadi dari setiap pilihan dan langkah yang gue ambil, kadang baik, kadang cocok, kadang juga mengecewakan. Banyak kekecewaan yang kadang membuat gue tenggelam dalam pikiran-pikiran 'what went wrong' dalam setiap kegagalan yang gue lalui.

All is good sampai a revelation comes to me. Kata orang hidayah itu datangnya bisa kapan saja, bisa ke siapa saja, dan bisa ngebalikin apa saja, itu terjadi di gue awal tahun ini. Gue baru sadar kadang ada saja sesuatu yang membuat kita bergerak ke arah sesuatu tanpa kita sadari, melalui pertanda yang kadang subliminal kadang kita sadari seiring berjalan. Dari situ gue terketuk, untuk selalu in-control akan ngebuat gue tidak tenang dan ngebuat gue tidak menyadari pertanda-pertanda subliminal tersebut karena kepala gue sibuk membuat skenario dan probabilitas akan suatu kejadian, yang tentunya akan membuat gue kecewa apabila semuanya berada di luar skenario.

Gue kembali lagi ke agama asal gue, mencoba menyerah dan memberikan dunia untuk mengontrol apa yang seharusnya mereka kontrol.

Kenapa harus kembali ke agama kalau sebenernya bisa menyerah tanpa syarat? Gue mencoba percaya pada 'berkah' yang ada dari-Nya kembali, satu-satunya cara gue mendapat 'berkah' tersebut ya adalah gue melakukan apa perintah-Nya, toh tidak merugikan. Gue menganalogikan ini kayak di meja poker, the chips is there, I got my hand on me, if I don't call (ibadah), I will never got the hand on the chips, but if I'm all in, there's still probability to win the chips, whether I win or not I just believe in my hand and call for it. Kira-kira begitu deh.

So, it is been 2 months since that day. Apa yang gue rasa?
Gue ngerasa lebih tenang sih, lebih lepas dalam ngelakuin sesuatu, walaupun berkorban ada hobi yang harus gue tahan-tahan (seenggaknya sampai habis puasa 👀), tapi it is worth it for my mind and heart really.

Dari semua ini satu yang gue sadari. Saat lo mengikuti sesuatu karena di doktrin, lo akan mengdoktrin orang untuk ikut juga karena ngerasa ini adalah sesuatu yang benar, semua bakal beda ceritanya saat ini adalah penemuan lo.

Gue tidak pernah merasa di doktrin saat gue menjadi agnostik. Gue tidak ada tuntutan, gue bahkan tetap encourage orang-orang untuk berkerja sesuai jalan yang mereka percaya, beda sama teman gue yang keluar dari agamanya dan mulai ngejelek-jelekin agama dan ngajak orang tidak beragama. Begitu juga gue sekarang, gue tidak ada tuntutan untuk ngejustifikasi agama sama sekali dan juga mengajak orang, tapi gue ngerasa yang gue perlu lakukan adalah melakukan sebaik-baiknya ajaran agama ini dan kalo ada orang yang look-up into me, ya silahkan ikut.

The real thing of religion is... Di antara percaya dan tidak percaya.
Sebenernya makin lo convince people to believe, more skeptical they got to look on you. Karena kita bukan Nabi, akan selalu ada cacat dalam kita dalam ngejalanin agama, jadi daripada ribut-ribut ngurusin agama orang, kenapa ga kita menjalani agama kita sebaik-baiknya saja? Toh kita sama-sama manusia, what belief we believe in only matter for us, not them.

I do not encourage you to change nor hoping you got change of heart. Ini adalah perjalanan gue dalam mencari apa yang gue percaya, semoga bisa menginspirasi perjalanan lo dalam mencari apa yang lo percaya. Don't think, just do it!

No comments:

Post a Comment