Wah
ga kerasa udah 1 tahun sejak update blog ini. Tidak terasa sekarang saya sudah
lulus dan siap untuk terjun ke masyarakat. Sebelum itu, setidaknya harus ada
update selagi masih gabut dan menjadi beban negara (red: pengangguran). Biar ga
beban-beban banget gitu.
Sekarang
ini buat temen-temen yang gatau, per 1 Oktober 2017, adanya regulasi jalan tol
baru yaitu harus menggunakan uang elektronik atau yang bahasa gaulnya e-money.
E-money ini adalah uang yang anda bayarkan kepada penyedia layanan e-money dan
disimpan dalam bentuk data elektronik, sepertinya tidak perlu saya jelaskan
secara rinci ya hehe. Ada banyak bentuk e-money di dunia, tapi yang sedang hot
diperkenalkan ke masyarakat adalah dalam bentuk kartu elektronik, yang sudah
banyak dikeluarkan oleh provider bank seperti Flazz (BCA), e-toll/e-cash (Mandiri),
TapCash (BNI) dan lain-lain. Go-pay, GrabCredits, Tokocash dan sejenisnya juga
termasuk e-money tapi saya tidak akan membahas itu disini.
Oke,
ternyata ini adalah follow-up dari Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) yang
dicanangkan oleh Bank Indonesia per 2014 lalu. Banyak yang sudah dilakukan oleh
pemerintah seperti menyediakan fasilitas untuk tol itu sendiri (gate otomatik),
alat penangkap sinyal dari OBU (On-Board Unit) dan lain-lain. Banyak
transportasi publik pun sudah menggunakan transaksi non-tunai untuk diakses
seperti TransJakarta dan KRL. Bahkan terakhir saya ke KB Ragunan juga sudah
perlu menggunakan e-money dalam bentuk kartu e-money yang dikeluarkan oleh Bank
DKI untuk masuk. Namun, seiring perkembangannya memperkenalkan uang elektronik,
pemerintah melalui Bank Indonesia yang berhak mengatur regulasi perbankan
mewacanakan adanya biaya administrasi untuk setiap pengisian saldo uang
elektronik. Wait, what? Baru mau
digalakan perkenalannya tapi udah dikasih biaya admin?? Sepertinya bapak-bapak
ini tidak begitu paham (atau merasa posisi bargainnya
diatas) sehingga mewacanakan seperti itu. Bahkan rokok Camel Mild yang baru
diperkenalkan JTI awal tahun ini, punya harga promo loh pak. Biaya admin ini
sendiri sekitar Rp 1.500 – 2.000 per transaksi yang mungkin bagi kaum menengah
keatas tidak terlalu keberatan dan kebetulan juga mereka tidak akses kebanyakan
transportasi publik, paling cuma tol aja. Bagaimana dengan saya? Pengangguran
yang baru lulus dan mengklasifikasikan diri saya sebagai proletar?
Baiklah,
saya akan memperhatikan sisi aksesiblitas terlebih dahulu. Jujur saja, akses
penggunaan uang elektronik ini belum luas, sehingga tidak fleksibel digunakan
apabila diisi dalam jumlah besar (yang bahkan bagi saya Rp. 100.000 itu saja
sudah besar). Mengingat aksesnya yang belum banyak berarti apabila saya mengisi
dalam jumlah banyak, dana likuid (bahasa ini sengaja digunakan agar terlihat
intelek) yang bisa saya gunakan berkurang. Maka kemungkinan saya akan mengisi
dalam jumlah yang tidak banyak, berarti saya kebanyakan ‘memberi’ Rp. 1.500 –
2.000 ke pihak bank. Saya rasa, saya bukan satu-satunya orang yang berpikiran
seperti itu.
Selanjutnya
saya akan membahas masalah kualitas dari transportasi itu sendiri. Seperti yang
kita tahu, hari ini Indonesia atau khususnya Kota Jakarta sebagai ibukota dan
pusat bisnis Indonesia belum membentuk integrated
urban transportation yang berarti
kita masih memerlukan akses sebelum mencapai akses transportasi publik, melalui
angkutan lokal seperti angkutan kota (angkot), atau ojek baik online ataupun
offline. Penggunaan angkutan lokal ini juga memerlukan uang tunai atau uang
elektronik tapi beda provider
sehingga kartu elektronik yang kita gunakan tidak terlalu efektif. Kualitasnya
sendiri, sangat kurang, baik angkutan lokal maupun massal hari ini kualitasnya
masih sangat kurang sekali. Saya pernah sekali naik TransJakarta yang
bertuliskan Grogol – Pinang Ranti, ternyata dia berlabuh ke Bundaran Senayan
dikarenakan trayek baru Pinang Ranti – Bundaran Senayan, what the.... Kondisi bus yang saya tumpangi pun sangat sedih, dari
pengalaman saya menjadi komuter Jakarta aktif antero 2013 – 2015, saya pernah
menaiki bus yang koplingnya gosong sehingga bau karet terbakar bercampur dengan
keringat komuter lainnya di dalam bus, AC yang tidak dingin, bus rusak ditengah
jalan, dan lain-lain. Saya tidak bisa berkata banyak soal KRL karena saya baru
sekali menaiki itu kemarin ke Bogor. Selain kondisi, head time atau kedatangan yang tidak jelas juga sangat berpengaruh
kepada kualitas transportasi publik di Jakarta.
Terakhir
masalahnya adalah.... Jalan tol alias jalan bebas hambatan yang ternyata banyak
hambatan macetnya.... Seperti post saya sebelumnya, Jakarta saat ini apabila
tidak segera dibenahi akan menuju necropolis
ditambah dengan gencarnya pembangunan residen di Kota Jakarta dan marketing dari kota sebelah alias
M**karta. Belum lagi jalan tol yang diberlakukan GTO hampir seluruh Indonesia,
terakhir saya ke Jawa Tengah lebih tepatnya Yogyakarta (oke saya paham Yogya
bukan Jawa Tengah), merchant yang
menggunakan uang elektronik sangat sedikit, padahal Yogyakarta sendiri termasuk
kota besar, bagaimana dengan kota-kota lain selain Jakarta?
Maka
dari itu, apabila pemerintah tetap ngotot untuk memaksakan tarif administrasi
dalam setiap transaksi pengisian saldo kartu elektronik sangatlah tidak arif. Masyarakat
akan terpaksa menggunakan sementara sistem perbankan mengutip Rp. 2000 maksimal
setiap transaksinya. Padahal seharusnya pemerintah menjadi pelayan masyarakat
agar masyarakat maju dan madani. Saya mengkritisi bukan tanpa solusi, saya juga
memiliki beberapa usulan dalam mendukung Gerakan Nasional Non-Tunai ini. Kenapa?
Karena saya termasuk orang yang telah memanfaatkan e-money dalam beberapa aspek
kehidupan saya, dan memang sangat nyaman sebenarnya. Baiklah, solusi tersebut
adalah?
1. Angkot atau Metromini dengan EDC, why not?
Melihat
GoJek atau Grab yang bisa memantau lokasi driver
atau kendaraan yang akan kita sewa, dan KRL yang menggunakan sistem bayar
diakhir apabila menggunakan e-money. Saya mengusulkan untuk Organda agar
mengadakan EDC yang memiliki GPS dan tarif perkilometer untuk angkutan kota dan
bus kecil yang beroperasi. Emang bisa? Saya rasa harusnya bisa, melihat Go-Jek
saja bisa, dan kemampuan orang Indonesia dalam menginovasikan benda yang sudah
ada. Apabila ini terealisasikan, bukan saja akses penggunaan ini lebih cepat,
tetapi juga memperlancar jalan lokal, karena kita tahu faktor utama kemacetan
di jalan lokal adalah adanya angkot atau metromini yang sedang mengembalikan
uang penumpang yang turun. Jadi tinggal naik, tap, duduk, “kiri bang”, tap, dan
langsung cus, seakan-akan seperti di luar negeri. Menguntungkan untuk semua
pihak saya rasa, saya harap Organda dan sistem perbankan mau mengkaji ide ini
lebih lanjut.
![]() |
Nah beginian ditambahin GPS bisa ga ya? |
2. Perbaikan Sarana Transportasi
Well, saya paham bahwa
Jakarta terus berbenah, namun perbaikan sarana juga perlu. Konsep Bus Rapid Transit yang digunakan oleh
TransJakarta nyatanya tidak seperti konsepnya. Konsep Bus Rapid Transit menggunakan dedicated
way untuk
bus memang dilakukan, tetapi disetiap persimpangan atau hambatan (seperti lampu
merah), selalu saja bus TransJakarta menjadi korban dan mengorbankan head time yang sebenarnya sudah diatur
oleh TransJakarta itu sendiri. Dan juga diperlukannya integrated urban transportation, dengan sedang boomingnya pembangunan dengan konsep TOD (transit oriented development), saya rasa harus ada integrasi antar
moda transportasi publik di Jakarta. Rasa-rasanya sih MRT di Lebak Bulus akan
terintegrasi dengan TransJakarta, namun itu hanya satu, sementara yang
diharapkan harusnya banyak poin-poin transit antar moda yang bisa digunakan
oleh masyarakat. Saya belum pernah membaca RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah)
DKI, namun saya harap ini dikaji kembali oleh pihak-pihak terkait seperti Dinas
Tata Ruang, Dinas PU, Bina Marga dan lain-lain
Waduh rame bener ini... |
3.
Merchantnya mana?
Saya sempat menyinggung masalah akses, mau
galakin penggunaan transaksi non-tunai tapi kok merchantnya ga ada? Beberapa daerah wisata sudah berkolaborasi
dengan UMKM setempat untuk pengadaan EDC dan penggunaan e-money dalam
transaksi, contoh saja Lenggang Jakarta Monas. Namun karena merchantnya sangat sedikit penggunaan
e-money juga menjadi kurang efektif. Saya berharap UMKM dan pihak perbankan
bisa berkolaborasi untuk subsidi pengadaan EDC untuk toko kelontong, rumah
makan kecil-menengah dan toko-toko bidang lain. Untuk jangka pendek mungkin
berfokus pada daerah wisata seperti Taman Mini, KBR, dan Ancol, namun saya
berharap bisa masuk sampai pelosok sehingga kepraktisan penggunaan e-money dan
fleksibiltasnya dapat terasa sampai ke semua lapisan masyarakat. Penambahan merchant ini juga penting loh untuk
menggerakan ekonomi kecil-menengah. Emang sih sekarang banyak mini-market yang
sudah menjamur dan menyediakan EDC, tapi penggunaannya juga minim sekali
sebenernya, pihak master franchise
juga punya andil loh kalo mau menggalakan program ini.
4. Multi-provider Service
Sekarang ini providernya banyak, tapi tiap provider
tidak terintegrasi. Coba gimana caranya regulasinya biar bisa terintegrasi,
masa udah ngisi aja dikutip, terus akses antar provider juga dikutip, ini mah namanya gendutin Bank dong!
5. Promo dong!!
Kalo emang pemerintah tetep ngotot sama tarif
administrasi, ya promo dulu dong! Seeengganya setahun dua tahun pertama ya
gratis dulu deh ga ada biaya admin (karena biaya admin ini sudah terjadi, waktu
terakhir saya isi Flazz saya di Halte TransJakarta sudah terpotong biaya
admin). Biarkan masyarakat merasakan murah dan efisiennya e-money, baru
pasangin tarif. Kalo belom kenal aja udah jual mahal, gimana kita mau kenal?
Belajar dari Go-Jek yang sukses melanggengkan Go-Paynya dalam setiap akses
transaksi di Go-Jek. Setahun pertama? Isinya promo terus, dari diskon naik
Go-Ride dan Go-Car sampai gratis biaya pengiriman Go-Food, bahkan sekarang udah
bisa beli pulsa pake Go-Pay. “Wah ini marketernya
Go-Jek ya?”, saya bukan kok, tapi Go-Jek adalah salah satu start-up yang inovatif dan market
valuenya tinggi, jadi kenapa kita ga contoh beberapa cara mereka? ATM =
Amati, Tiru, Modifikasi.
Kesimpulan
Pemerintah sih sah-sah aja kalo mau netapin
tarif admin, tapi pikirin rakyat juga dong! E-money emang praktis tapi kalo
masyarakat belom kenal aja udah diribetin dan dikutip, gimana mau terpakai?
Saya lebih mendukung apabila tidak ada tarif administrasi, tapi balik lagi kalo
emang ngotot, coba sosialisasikan dan berikan dulu wadahnya baru kasih. Saya
harap sih melihat permasalahan yang saya highlight
dan solusinya, bisa jadi pembahasan di Senayan sana untuk mengakomodir Gerakan
Nasional Non-Tunai ini. Tapi inget bapak ibu wakil rakyat, jangan di korupsi
ya!!
Daftar Pustaka:
No comments:
Post a Comment