06 October 2017

Point of View: Uang Elektronik

Wah ga kerasa udah 1 tahun sejak update blog ini. Tidak terasa sekarang saya sudah lulus dan siap untuk terjun ke masyarakat. Sebelum itu, setidaknya harus ada update selagi masih gabut dan menjadi beban negara (red: pengangguran). Biar ga beban-beban banget gitu.

Sekarang ini buat temen-temen yang gatau, per 1 Oktober 2017, adanya regulasi jalan tol baru yaitu harus menggunakan uang elektronik atau yang bahasa gaulnya e-money. E-money ini adalah uang yang anda bayarkan kepada penyedia layanan e-money dan disimpan dalam bentuk data elektronik, sepertinya tidak perlu saya jelaskan secara rinci ya hehe. Ada banyak bentuk e-money di dunia, tapi yang sedang hot diperkenalkan ke masyarakat adalah dalam bentuk kartu elektronik, yang sudah banyak dikeluarkan oleh provider bank seperti Flazz (BCA), e-toll/e-cash (Mandiri), TapCash (BNI) dan lain-lain. Go-pay, GrabCredits, Tokocash dan sejenisnya juga termasuk e-money tapi saya tidak akan membahas itu disini.

Oke, ternyata ini adalah follow-up dari Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) yang dicanangkan oleh Bank Indonesia per 2014 lalu. Banyak yang sudah dilakukan oleh pemerintah seperti menyediakan fasilitas untuk tol itu sendiri (gate otomatik), alat penangkap sinyal dari OBU (On-Board Unit) dan lain-lain. Banyak transportasi publik pun sudah menggunakan transaksi non-tunai untuk diakses seperti TransJakarta dan KRL. Bahkan terakhir saya ke KB Ragunan juga sudah perlu menggunakan e-money dalam bentuk kartu e-money yang dikeluarkan oleh Bank DKI untuk masuk. Namun, seiring perkembangannya memperkenalkan uang elektronik, pemerintah melalui Bank Indonesia yang berhak mengatur regulasi perbankan mewacanakan adanya biaya administrasi untuk setiap pengisian saldo uang elektronik. Wait, what? Baru mau digalakan perkenalannya tapi udah dikasih biaya admin?? Sepertinya bapak-bapak ini tidak begitu paham (atau merasa posisi bargainnya diatas) sehingga mewacanakan seperti itu. Bahkan rokok Camel Mild yang baru diperkenalkan JTI awal tahun ini, punya harga promo loh pak. Biaya admin ini sendiri sekitar Rp 1.500 – 2.000 per transaksi yang mungkin bagi kaum menengah keatas tidak terlalu keberatan dan kebetulan juga mereka tidak akses kebanyakan transportasi publik, paling cuma tol aja. Bagaimana dengan saya? Pengangguran yang baru lulus dan mengklasifikasikan diri saya sebagai proletar?

Baiklah, saya akan memperhatikan sisi aksesiblitas terlebih dahulu. Jujur saja, akses penggunaan uang elektronik ini belum luas, sehingga tidak fleksibel digunakan apabila diisi dalam jumlah besar (yang bahkan bagi saya Rp. 100.000 itu saja sudah besar). Mengingat aksesnya yang belum banyak berarti apabila saya mengisi dalam jumlah banyak, dana likuid (bahasa ini sengaja digunakan agar terlihat intelek) yang bisa saya gunakan berkurang. Maka kemungkinan saya akan mengisi dalam jumlah yang tidak banyak, berarti saya kebanyakan ‘memberi’ Rp. 1.500 – 2.000 ke pihak bank. Saya rasa, saya bukan satu-satunya orang yang berpikiran seperti itu.

Selanjutnya saya akan membahas masalah kualitas dari transportasi itu sendiri. Seperti yang kita tahu, hari ini Indonesia atau khususnya Kota Jakarta sebagai ibukota dan pusat bisnis Indonesia belum membentuk integrated urban transportation yang berarti kita masih memerlukan akses sebelum mencapai akses transportasi publik, melalui angkutan lokal seperti angkutan kota (angkot), atau ojek baik online ataupun offline. Penggunaan angkutan lokal ini juga memerlukan uang tunai atau uang elektronik tapi beda provider sehingga kartu elektronik yang kita gunakan tidak terlalu efektif. Kualitasnya sendiri, sangat kurang, baik angkutan lokal maupun massal hari ini kualitasnya masih sangat kurang sekali. Saya pernah sekali naik TransJakarta yang bertuliskan Grogol – Pinang Ranti, ternyata dia berlabuh ke Bundaran Senayan dikarenakan trayek baru Pinang Ranti – Bundaran Senayan, what the.... Kondisi bus yang saya tumpangi pun sangat sedih, dari pengalaman saya menjadi komuter Jakarta aktif antero 2013 – 2015, saya pernah menaiki bus yang koplingnya gosong sehingga bau karet terbakar bercampur dengan keringat komuter lainnya di dalam bus, AC yang tidak dingin, bus rusak ditengah jalan, dan lain-lain. Saya tidak bisa berkata banyak soal KRL karena saya baru sekali menaiki itu kemarin ke Bogor. Selain kondisi, head time atau kedatangan yang tidak jelas juga sangat berpengaruh kepada kualitas transportasi publik di Jakarta.

Terakhir masalahnya adalah.... Jalan tol alias jalan bebas hambatan yang ternyata banyak hambatan macetnya.... Seperti post saya sebelumnya, Jakarta saat ini apabila tidak segera dibenahi akan menuju necropolis ditambah dengan gencarnya pembangunan residen di Kota Jakarta dan marketing dari kota sebelah alias M**karta. Belum lagi jalan tol yang diberlakukan GTO hampir seluruh Indonesia, terakhir saya ke Jawa Tengah lebih tepatnya Yogyakarta (oke saya paham Yogya bukan Jawa Tengah), merchant yang menggunakan uang elektronik sangat sedikit, padahal Yogyakarta sendiri termasuk kota besar, bagaimana dengan kota-kota lain selain Jakarta?

Maka dari itu, apabila pemerintah tetap ngotot untuk memaksakan tarif administrasi dalam setiap transaksi pengisian saldo kartu elektronik sangatlah tidak arif. Masyarakat akan terpaksa menggunakan sementara sistem perbankan mengutip Rp. 2000 maksimal setiap transaksinya. Padahal seharusnya pemerintah menjadi pelayan masyarakat agar masyarakat maju dan madani. Saya mengkritisi bukan tanpa solusi, saya juga memiliki beberapa usulan dalam mendukung Gerakan Nasional Non-Tunai ini. Kenapa? Karena saya termasuk orang yang telah memanfaatkan e-money dalam beberapa aspek kehidupan saya, dan memang sangat nyaman sebenarnya. Baiklah, solusi tersebut adalah?

1. Angkot atau Metromini dengan EDC, why not?

Melihat GoJek atau Grab yang bisa memantau lokasi driver atau kendaraan yang akan kita sewa, dan KRL yang menggunakan sistem bayar diakhir apabila menggunakan e-money. Saya mengusulkan untuk Organda agar mengadakan EDC yang memiliki GPS dan tarif perkilometer untuk angkutan kota dan bus kecil yang beroperasi. Emang bisa? Saya rasa harusnya bisa, melihat Go-Jek saja bisa, dan kemampuan orang Indonesia dalam menginovasikan benda yang sudah ada. Apabila ini terealisasikan, bukan saja akses penggunaan ini lebih cepat, tetapi juga memperlancar jalan lokal, karena kita tahu faktor utama kemacetan di jalan lokal adalah adanya angkot atau metromini yang sedang mengembalikan uang penumpang yang turun. Jadi tinggal naik, tap, duduk, “kiri bang”, tap, dan langsung cus, seakan-akan seperti di luar negeri. Menguntungkan untuk semua pihak saya rasa, saya harap Organda dan sistem perbankan mau mengkaji ide ini lebih lanjut.
Nah beginian ditambahin GPS bisa ga ya?


2. Perbaikan Sarana Transportasi

Well, saya paham bahwa Jakarta terus berbenah, namun perbaikan sarana juga perlu. Konsep Bus Rapid Transit yang digunakan oleh TransJakarta nyatanya tidak seperti konsepnya. Konsep Bus Rapid Transit menggunakan dedicated way untuk bus memang dilakukan, tetapi disetiap persimpangan atau hambatan (seperti lampu merah), selalu saja bus TransJakarta menjadi korban dan mengorbankan head time yang sebenarnya sudah diatur oleh TransJakarta itu sendiri. Dan juga diperlukannya integrated urban transportation, dengan sedang boomingnya pembangunan dengan konsep TOD (transit oriented development), saya rasa harus ada integrasi antar moda transportasi publik di Jakarta. Rasa-rasanya sih MRT di Lebak Bulus akan terintegrasi dengan TransJakarta, namun itu hanya satu, sementara yang diharapkan harusnya banyak poin-poin transit antar moda yang bisa digunakan oleh masyarakat. Saya belum pernah membaca RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) DKI, namun saya harap ini dikaji kembali oleh pihak-pihak terkait seperti Dinas Tata Ruang, Dinas PU, Bina Marga dan lain-lain

Waduh rame bener ini...


3. Merchantnya mana?

Saya sempat menyinggung masalah akses, mau galakin penggunaan transaksi non-tunai tapi kok merchantnya ga ada? Beberapa daerah wisata sudah berkolaborasi dengan UMKM setempat untuk pengadaan EDC dan penggunaan e-money dalam transaksi, contoh saja Lenggang Jakarta Monas. Namun karena merchantnya sangat sedikit penggunaan e-money juga menjadi kurang efektif. Saya berharap UMKM dan pihak perbankan bisa berkolaborasi untuk subsidi pengadaan EDC untuk toko kelontong, rumah makan kecil-menengah dan toko-toko bidang lain. Untuk jangka pendek mungkin berfokus pada daerah wisata seperti Taman Mini, KBR, dan Ancol, namun saya berharap bisa masuk sampai pelosok sehingga kepraktisan penggunaan e-money dan fleksibiltasnya dapat terasa sampai ke semua lapisan masyarakat. Penambahan merchant ini juga penting loh untuk menggerakan ekonomi kecil-menengah. Emang sih sekarang banyak mini-market yang sudah menjamur dan menyediakan EDC, tapi penggunaannya juga minim sekali sebenernya, pihak master franchise juga punya andil loh kalo mau menggalakan program ini.

4. Multi-provider Service

Sekarang ini providernya banyak, tapi tiap provider tidak terintegrasi. Coba gimana caranya regulasinya biar bisa terintegrasi, masa udah ngisi aja dikutip, terus akses antar provider juga dikutip, ini mah namanya gendutin Bank dong!

5. Promo dong!!

Kalo emang pemerintah tetep ngotot sama tarif administrasi, ya promo dulu dong! Seeengganya setahun dua tahun pertama ya gratis dulu deh ga ada biaya admin (karena biaya admin ini sudah terjadi, waktu terakhir saya isi Flazz saya di Halte TransJakarta sudah terpotong biaya admin). Biarkan masyarakat merasakan murah dan efisiennya e-money, baru pasangin tarif. Kalo belom kenal aja udah jual mahal, gimana kita mau kenal? Belajar dari Go-Jek yang sukses melanggengkan Go-Paynya dalam setiap akses transaksi di Go-Jek. Setahun pertama? Isinya promo terus, dari diskon naik Go-Ride dan Go-Car sampai gratis biaya pengiriman Go-Food, bahkan sekarang udah bisa beli pulsa pake Go-Pay. “Wah ini marketernya Go-Jek ya?”, saya bukan kok, tapi Go-Jek adalah salah satu start-up yang inovatif dan market valuenya tinggi, jadi kenapa kita ga contoh beberapa cara mereka? ATM = Amati, Tiru, Modifikasi.

Kesimpulan

Pemerintah sih sah-sah aja kalo mau netapin tarif admin, tapi pikirin rakyat juga dong! E-money emang praktis tapi kalo masyarakat belom kenal aja udah diribetin dan dikutip, gimana mau terpakai? Saya lebih mendukung apabila tidak ada tarif administrasi, tapi balik lagi kalo emang ngotot, coba sosialisasikan dan berikan dulu wadahnya baru kasih. Saya harap sih melihat permasalahan yang saya highlight dan solusinya, bisa jadi pembahasan di Senayan sana untuk mengakomodir Gerakan Nasional Non-Tunai ini. Tapi inget bapak ibu wakil rakyat, jangan di korupsi ya!!

Daftar Pustaka:


No comments:

Post a Comment