Di Kawah Sikidang, photo by: tripod |
***
Pagi itu masih pekat dengan gelapnya malam, jam 03.00 WIB di suatu kos-kosan bernama Markas Russia, bahkan ayam masih belum berkokok, entah disana ada atau tidak. Tetapi saya sudah sibuk bergegas menuju Stasiun Pasar Senen, memesan Go-Jek dan lainnya, membaca pesan line penuh dengan pertanyaan, apakah saya sudah berangkat apa belum. Bersama ojek saya pergi menuju Pasar Senen, itupun dengan berbagai macam halang rintang, salah satunya ojek yang saya tumpangi, bannya bocor. Apakah paku itu tidak tahu saya sedang dikejar waktu? Ah sudahlah.
Bersama tukang ojek yang merelakan tidak nonton tim kesayangannya demi sesuap nasi itu, saya berjalan menyusuri daerah Harmoni, mencari tukang tambal ban yang buka. Bertanya pada seseorang yang saya anggap lucu, karena nantinya, kami bertemu kembali di tempat tambal ban yang ia tunjukan. Setelah berjalan menuju tempat yang ditunjuk, saya menyadari bahwa tempat tambal ban yang ditunjukan itu adalah tempat tambal ban darurat! Saya melihat berbagai macam merek obat kuat dan obat cina di rak tambal ban bapak setengah baya itu, bersama dengan seorang wanita muda yang saya rasa dia adalah wanita "you-know-who", benar-benar pengalaman yang aneh, saya tidak pernah berada di daerah-daerah seperti itu (sebenarnya pernah, akan diceritakan dilain waktu). Bapak setengah baya itu dengan cepat mengganti ban dalam punya tukang ojek itu, sambil bercerita betapa banyaknya paku bertebaran di daerah Harmoni dan memompa ban motor dengan pompa sepedanya, ah sudahlah, saya hanya ingin cepat sampai di sana.
Saya lupa berapa lama hingga akhirnya saya sampai di Stasiun Pasar Senen. Menanti teman lainnya di ruang tunggu bagian timur, melihat betapa ramainya stasiun kereta api, ya karena saya baru pertama kali menggunakan kereta api. Aneh, saya pernah berpergian lewat jalur darat dalam jarak yang jauh, Jakarta - Bali, tapi itu menggunakan bus, atau saya juga pernah keliling Jawa dan Sumatra (waktu masih kecil), juga menggunakan mobil, kereta adalah hal yang asing bagi saya waktu itu. 30 menit sebelum kereta berangkat, teman - teman yang lain datang, dengan ekspresi yang sudah saya perkirakan sebelumnya, menertawakan saya. Perlu saya ceritakan, pada waktu itu saya membawa sebuah travel bag (silahkan cari di google untuk ilustrasi) dan sebuah ransel, dimana teman yang lain hanya membawa tas ransel berukuran besar, bahkan seorang teman, sebut saja namanya Okta, hanya membawa tas ransel yang cukup kecil. "Kalo butuh apa-apa beli aja nanti" itulah dalihnya. Ah iya, saya tidak akan pernah lupa untuk mem-post sebuah jokes potterhead.
![]() |
Masih Mencari Peron 9 3/4 |
05.30 WIB atau kurang, saya dan 19 teman yang lain sudah masuk ke kereta api pertama saya, di gerbong nomor 8, kursi nomor 16E, saya duduk tenang sambil membuka buku Harry Potter and the Goblet of Fire (yang sengaja di bawa karena lupa cerita si nomor 4 ini). Kereta pun berjalan menuju Purwokerto, diiringi oleh lagu ini, yang saya setel sengaja, untuk memulai petualangan saya yang baru.
Perjalanan di dalam kereta itu menghabiskan waktu sekitar 5 jam lebih, termasuk dengan berhenti-berhentinya kereta di stasiun-stasiun tertentu selama perjalanan (maklum, ekonomi :)). Selama perjalanan saya isi dengan baca buku, tidur, mendengar lagu, makan, lalu tidur lagi. Kereta api tidak secepat yang saya bayangkan, mungkin itu salah saya karena membayangkannya shinkansen sih. Sampai akhirnya saya sampai di checkpoint pertama, Stasiun Purwokerto sekitar jam 11. Tanpa makan siang, saya dan teman-teman sudah dijemput oleh bus yang disewa oleh tempat kami menginap untuk menjemput kami, maka kami pun langsung berangkat menuju destinasi yang kami tuju, yaitu Dieng.
Perjalanan menuju Dieng, tidak se'dekat' yang saya kira. Dekat disini dalam artian waktu, terlalu lama di Jakarta, saya mulai mempunyai delusi bahwa waktu adalah satuan jarak. Perkiraan kami, kami akan sampai dalam waktu 2 jam (seperti Jakarta - Bandung, dalam dunia imaji), sehingga setelah dari turun kereta, kami langsung jalan menuju Dieng tanpa makan siang terlebih dahulu. Dalam waktu satu setengah jam pertama, kami sampai di alun-alun kota Wonosobo, disitu kami melakukan beberapa perdebatan kecil tentang makan Mie Ongklok (saat saya mendengar namanya, saya langsung berpikir "what the hell is this 'Ongklok'??") di alun-alun kota Wonosobo atau terus melanjutkan perjalanan ke Dieng. Perdebatan yang tidak selesai, dan keputusan yang diambil sepihak oleh supir bus itu, dia melewati kota Wonosobo dalam waktu kurang dari 30 menit, bahkan kami belum sempat selesai berdebat!
Akhirnya kami makan siang di sebuah rumah makan di daerah Banjarnegara (itu kalo benar). Ekspektasi kami sebelum berangkat adalah makan satu hari kira-kira sekitar 35-40 ribu rupiah saat itu (Thanks to mas Arie, lol). Akhirnya beberapa tim ketat menunggu teman lainnya memesan makan dan bertanya harga. sementara saya langsung melenggang kearah prasmanan, sambil pikir-pikir mau makan apa. Pilihan saya jatuh ke ikan (saya tidak tahu itu ikan apa, pokoknya besar dan tulangnya besar-besar), karena ayam adalah satu-satunya pilihan yang saya punya di kantin kampus, bersama dengan orek tempeh, sayur kacang panjang dan sambal terasi, saya rasa ini hanya sekitar 15 ribu rupiah, karena dengan menu yang sama, di warteg di Jakarta saya bisa dapat dengan harga sekitar 15-18 ribu rupiah. Saya pun berjalan menuju kasir dan memperlihatkan piring saya yang sudah penuh dengan nasi bersama lauk pauknya, lalu si ibu kasir itu bertanya "minumnya apa?", pertanyaan yang cukup sulit, kalau saya sedang berhemat, tapi berkat ekspektasi 'makan 35 ribu sehari', saya bilang "Es Teh Tawar bu". Lalu bunyi cetak cetik dari mesin kasirnya menunjukan nominal yang harus saya bayar, yang membuat saya tercenggang. "Jadi 25 ribu dek...", wait, what?! You gotta be joking me, ma'am! Tapi sayangnya engga, akhirnya dengan berat hati (dan ringan dompet), saya bayar sambil berjalan menuju meja. Saya yakin, anda sudah bisa menebak cerita selanjutnya.
Benar, bila jawaban anda, kami membandingkan harga makanan kami. Ternyata saya bukan satu-satunya. Seorang teman, malah memilih makanan yang membuatnya membayar 30 ribu rupiah, so wow. Akhirnya saya menyadari, bahwa kami ada diantara kota, di jalan penghubung, yang hanya banyak dilewati truk, bus, dan sedikit mobil, akhirnya saya menyimpulkan jalan ini seperti jalan Pantura, sehingga saya bisa memaklumi harga makanannya. All set, dan kami melanjutkan perjalanan menuju Dieng, yang akhirnya kami sentuh satu jam setelah itu.
***
Akhirnya saya sampai di homestay bernama Bougenville, letaknya pas di pertigaan jalan menuju komplek Candi Arjuna, sebelah Indomart yang kalau masuk kesana, hawanya hangat (ingat, Dieng ada diatas gunung, jadi dingin). Hal pertama yang saya lakukan, beberapa dari anda yang membaca dari awal pasti bisa menebak. Saya tidak akan memberikan apa-apa bila anda menjawab tidur, tapi masih berkait, karena saya mencari kamar tidur. Disana, ada 5 kamar tidur yang bisa digunakan, saya mengambil kamar paling depan di lorong sebelah kiri, alasannya, tidak ada alasan sama sekali.
Barang sudah ditaruh di kamar, dan saya siap berjalan-jalan. Namun, seorang teman bernama (atau kita panggil saja) Hendrik, mengajak bermain The Werewolf Game. Bagi yang tidak tahu soal TWG ini, prinsipnya adalah ada 2 pihak yaitu Goodies dan Baddies yang saling tuduh dan bunuh lewat permainan debat dan retorika untuk memenangkan permainan.
PS: Butuh satu tahun bagi saya untuk akhirnya memutuskan mempublish hasil cerita yang tidak lengkap ini. Pada akhirnya, semuanya hanya momen untuk dikenang :). See you on my next trip
No comments:
Post a Comment