Bunyi klakson bersahut-sahutan, awalnya saya positive thinking bahwa ini hanya karena rush hour pagi, seperti yang kita semua tahu, jalan Gatsu banyak sekali kantor-kantor yang akan menghambat kecepatan dan volume jalan (Dasar-Dasar Rekayasa Transportasi, smt. 2). Tapi sayangnya, sampai saya melewati LIPI, macetnya tidak berkurang, malah tambah banyak taksi-taksi berhenti seenaknya ditengah jalan, dengan membawa spanduk "Stop Illegal Transportation". Saya langsung menyadari, saya akan melewati daerah demo.
Demo besar-besaran supir Taksi berbagai macam brand, KWK, bahkan ada APTB yang memalang jalan di depan Citraland, merupakan counter-action dari maraknya GrabCar dan UberTaxi, yang mereka bilang, merebut rezeki mereka. Illegal Transportation, tidak KIR kendaraan, berplat hitam, dan segala macam embel-embelnya diteriakan dalam demo tersebut. Bahkan ada video taksi Bl*eB*rd yang sedang membawa penumpang, terpaksa menabrak rekan sejawatnya demi mengantar penumpangnya selamat sampai tujuan dan tidak ikut demo yang kata mereka "Demi Kebersamaan". Dalam tulisan ini, saya akan membahas tentang angkutan umum di Jakarta, melalui kacamata saya.
Illegal Transportation vs. Legal Transportation?
Dalam Pasal 138 ayat 2, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan angkutan umum dan/atau barang hanya dilakukan dengan kendaraan bermotor umum. Yang artinya, angkutan umum harus dijalankan oleh plat kuning (taksi, angkutan kota, dan sebagai macamnya yang platnya kuning). Loh, berarti Grab dan Uber itu illegal dong? Lah iya, karena kendaraan mereka adalah kendaraan pribadi berplat hitam.Tapi mari kita telusuri lagi apa sih yang dimaksud angkutan umum? Saya tidak tahu, bahwa pernah ada definisi pasti tentang angkutan umum ini, biasanya hanya berupa "Angkutan umum merupakan salah satu media transportasi yang digunakan masyarakat secara bersama-sama dengan membayar tarif" (Wikipedia:Angkutan Umum) dan juga menggunakan pelat kuning. Bagi saya, yang dimaksud angkutan umum adalah menaik/turunkan penumpang di jalanan umum. Sementara untuk Grab/Uber hanya menaik/turunkan penumpang di tempat yang sesuai dengan perjanjian yang tertera di aplikasi (sebagai pengganti kontrak), terdengar seperti rental mobil ya?
Bayar Pajak vs. Tidak Bayar Pajak
Selain Illegal Transportation, beberapa dari mereka meneriakan tentang "Tidak Membayar Pajak". Dan memang benar, untuk mengoperasikan angkutan jalan di Indonesia harus memiliki badan hukum berupa BUMN, BUMD, atau PT (mengutip salah satu pembicara ILC Selasa (22/3)). Maka, selain Blue Bird Group (Blue Bird) dan PT Express Trasindo Utama Tbk. (Express), Grab-pun sudah membayar pajak dengan memiliki PT Grab Taxi Indonesia, begitupun dengan Go-Jek (PT. Gojek Indonesia), tapi saya tidak begitu tahu tentang Uber (dimana sebenarnya Uber sudah sempat dicekal di New York dan Paris karena harganya yang begitu murah dan tidak membayar pajak).
"Penulisnya defense Grab sama Gojek nih". Tidak kok, saya hanya memberikan pandangan sesuai pengetahuan saya. Karena, pengemudinya seharusnya juga membayar pajak dengan memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), dan mengisi SPT Tahunan seperti orang-orang lainnya (bagi anda yang belum punya, segera buat).
Owning Economy vs. Sharing Economy
Saya akan mengutip banyak dari bapak Rhenal Khasali (yang juga merupakan Guru Besar Manajemen) melalui tulisannya, yang bisa anda akses disini.
Owning Economy, simplenya adalah presepsi orang-orang tua bahwa bisnis itu harus membeli dan menguasai. Jadi untuk memulai sebuah bisnis, semuanya serba mahal, karena harus memiliki semua hal yang dibutuhkan untuk bisnis tersebut. Modalnya banyak, tapi mengejar RoI, sehingga semuanya jadi mahal. Sementara trend sekarang, semenjak adanya Internet dan dunia maya, semua kegiatan menjadi daring (sengaja menggunakan kata ini, untuk mempopulerkan bahasa Indonesia). Kegiatan belanja luring (sama seperti sebelumnya) dengan pergi ke mall atau toko, digantikan dengan toko daring, semuanya dalam genggaman tanpa harus melangkahkan kaki.
Sama seperti Grab dan Gojek, kita tahu hal yang lebih mahal daripada modal dalam sebuah bisnis adalah ide. Memiliki ide, dan kemampuan membuat aplikasi, mereka merekrut orang-orang yang memiliki kendaraan untuk berbagi hasil dengan mereka, dan malamnya, kendaraan-kendaraan tersebut diparkir di rumah pengendara masing-masing. Tidak butuh jasa keamanan, pool, ataupun bengkel besar, Akibatnya, wajar dong kalau harga yang ditawarkan lebih murah, bahkan dianggap sebagai predator bagi pengusaha konvensional.
Karena hal itu, Bagi kebanyakan pengambil kebijakan dan pelaku usaha lama yang sudah terikat dengan fixed cost yang besar, dan tidak bisa mengerti cara kerja generasi yang lebih muda, menuntut agar usaha generasi muda ini dihambat, dijegal, atau apapun kata-kata yang berkonotasi sama dengan itu.
Kesimpulan
Apa yang salah dengan demo besar-besaran kemarin? Tidak ada yang salah, saat kita berbicara tentang isi perut, maka semuanya bisa terjadi. Tetapi, aksi tanpa kajian hanya akan menimbulkan mis-presepsi kepada masyarakat, nyatanya kemarin, saat kesulitan mendapatkan taksi, Uber memberikan insentif double untuk pengemudinya, siapa yang rugi?
Mereka (para pelaku usaha lama), menuntut aplikasinya ditutup. Bukan aplikasinya yang salah, karena setahu saya, Blue Bird dengan My Blue Birdnya adalah pionir taksi yang menggunakan aplikasi. Para pengemudi Express dan Putra-pun menggunakan GrabTaxi sebagai bantuan mereka untuk mencari penumpang. Tetapi, tarif argo yang mahal, dan kadang-kadang pengemudinya suka pura-pura dong-dong dan salah belok (maaf, ini pengalaman saya pribadi), membuat mereka kalah dengan tarif yang lebih murah, dan fixed price (terikat di aplikasi/kontrak) milik GrabCar. Pelayanan adalah segalanya, pembeli adalah raja.
Vox Populi, Vox Dei. Suara Rakyat, Suara Tuhan. Rakyat sudah mulai suka dengan keberadaan GrabCar yang lebih murah, para mantan pengemudi Express/Blue Bird yang sudah mendapatkan mobilnya mungkin sudah berpindah juga ke GrabCar, banyak juga pengambilan kredit-kredit mobil murah untuk dijadikan Grab. Memang sih, kemacetan Jakarta akan menjadi parah, mungkin akan lebih dekat menjadi "necropolis". Tetapi Pemerintah juga tidak bisa memaksa mereka (Grab dan Gojek) menutup usaha mereka, karena akan banyak pembelaan oleh rakyat, walaupun akan banyak kontra juga. Menurut saya, waktunya Pemerintah yang membuat kebijakan untuk mengakomodasi kedua belah pihak yang berseteru ini. Atau biarkan salah satunya mati sendiri? Mari kita merenung.
Betul men setuju deh. Dan harusnya untuk kesejahteraan supir ditanggung institusinya sendiri lah, kan mereka karyawan bukan mitra kayak gojek. Emg institusinya aja yang maruk najis
ReplyDelete