23 September 2015

[MiniStory] Menanti Fajar

Cerita ini gue buat iseng aja sih. Pengerjaannya cukup cepet, dan ga pake editing (ga kayak Cerita Saat Senja). Lagi-lagi gue berusaha bermain pun, gue berusaha menuliskan emosi di dalam cerita gue. Sayangnya, gue gatau gue berhasil atau enggak, jadi gue menunggu kritik dan saran dari readers di kolom komen. Cerita ini 100% Fiksi, tapi ada yang bilang sebuah Fiksi berasal dari sebuah kisah nyata. So, enjoy Menanti Fajar.

------------------------------------------------
Menanti Fajar

“Vin, kalo gue pergi, lo masih bakal nunggu gue kan?” kata pria tersebut sambil menggenggam tangan wanita.
“Iya Jar, gue masih mau nunggu lo! Gue masih mau bareng-bareng sama lo!” balas wanita yang digenggam tangannya, seakan tak mau melepas kepergian pria itu.
“Gue akan balik secepatnya Vin! Gue janji!” seru pria itu sambil perlahan melepas genggaman tangannya, dan berjalan menjauh.
“GUE AKAN TAGIH JANJI LO JAR!!!!” teriak wanita itu, melihat pria itu berjalan ditengah kerumunan orang di bandara. Hanya 1 lambaian tangan terakhir dan…
BRAKKK!!!!
“MANA FAJAR??!!” teriak wanita itu lagi, setengah sadar.
“APANYA YANG FAJAR? KAMU LAGI DITENGAH KELAS SAYA MALAH TIDUR LAGI! MAU NILAI KAMU GA KELUAR?” tanya pria yang menyebabkan suara hentakan meja tadi.
“Ma… ma… maaf pak! Saya ga sengaja, saya tidak akan ulangi lagi” jawab wanita itu gelagapan, berharap masih ada belas kasih dari dosen ini.
“Saya tidak ingin itu terjadi lagi di kelas saya Vina!” suara dosen itu lagi-lagi mengagetkan seisi kelas.
“Baik pak! Terima kasih”
“Baik, sekian untuk hari ini. Class dismissed” suara dosen itu lagi-lagi mengagetkan seisi kelas, untuk segera berhamburan keluar.
Vina, mahasiswi semester 3, lagi-lagi terlihat murung setelah keluar dibubarkan. Bagi Vina, ini bukan pertama kalinya ia dimarahi dosen ataupun dipermalukan di kelas. Ini sudah yang ketiga di minggu ini, belum dihitung lagi minggu sebelumnya. Untungnya, dia tidak bermasalah di dosen yang sama. Kelas yang tadinya penuh, berubah kosong setelah Vina melangkah keluar, pandangan yang sama masih diberikan kepadanya, pandangan merendahkan, seakan ia adalah lelucon belaka.
“OI VIN!! LO KENAPA LAGI?” teriak suara wanita dari belakang Vina.
“Ah, elo Far, biasalah, dimarahin dosen” jawab Vina lesu, sambil terus melangkahkan kakinya di koridor yang penuh dengan tatapan-tatapan tidak enak.
“Lo mungkin harus ketempat kita deh. Kamar FARANA! Farah-Vina!” seru wanita tersebut penuh semangat.
“Hmmm, kayaknya hari ini gue mau pulang Far, jaga kamar kita ya!” kata Vina mempercepat langkah kakinya, meninggalkan Farah yang kebingungan di koridor.
‘Gue pulang’ gumam Vina dalam hati, mengambil taksi di depan gerbang kampus untuk satu tujuan. Pulang.
-------------------------
Gue adalah Vina, mahasiswi galau yang udah 7 kali ditegur dosen dalam jangka waktu 2 minggu. Gila. Gue memasuki semester 3, dimana baru 2 minggu dimulai, which means, gue ditegur 7 dosen waktu baru masuk semester 3!
Gue enggak ngerti sebenernya apa yang terjadi sama gue. Setiap pagi atau di momen-momen tertentu, gue seakan hilang dan kembali memutar rekaman 3 tahun lalu. Rekaman yang membuat gue ditegur 7 dosen, dalam waktu 2 minggu. Rekaman yang membuat gue selalu mengingat dia. Dia yang buat gue jadi seperti sekarang ini.
Sesampainya gue di rumah, gue langsung buka lemari gue, dan ngambil kotak putih disana. Kotak yang berisikan puing-puing rekaman, sama seperti rekaman yang membuat gue ditegur 7 dosen. Gue menekankan sekali bahwa rekaman di kepala gue ini adalah kambing hitam dari kesialan gue hari ini. Hal pertama yang gue lihat saat kotak itu dibuka adalah sebuah kertas bertuliskan “Selamat Berjuang, Calon Arsitek Rumah KITA”, dan dibaliknya ada sebuah penggaris dengan tulisan “KITA”, dan hal-hal lain berbau kita. Entah kenapa gue mau liat isi kotak ini hari ini juga.
Gue buka satu per satu lapisan isi kotak tersebut. Melihat foto gue dan pria itu, ditempat-tempat yang pernah kami kunjungi. Pernak-pernik bertuliskan kita dan kata-kata penyemangatnya. Peralatan gambar teknik dengan tulisan “kita” dimana-mana. Semuanya buat gue pusing, dan sepertinya gue akan pingsan….
“Vin… bangun” suara merdu wanita
“Vin… banguuun” suara itu lagi-lagi muncul
“VINA!” suara itu muncul dan menyadarkan gue, mengirim impuls-impuls ke seluruh ujung syaraf gue.
“FARAH! KOK LO BISA DISINI!!!!!!” gue terhentak dan balas dengan suara yang ga kalah keras.
“Gue khawatir sama lo Vin, jadi gue ke rumah lo”
“Terus sekarang jam berapa?”
“Udah jam 9 malem… lo pingsan apa udah mau mati sih tadi?”
“Gatau Far” suara gue menciptkan kebisuan
“Lagi-lagi gara-gara ini ya?” kata Farah, sambil menunjukan sebuah foto gue dan seorang pria, setelah hampir 2 jam kita berdiam di kamar gue.
“Sepertinya Far…” jawab gue ragu. Padahal tidak ada keraguan bahwa Farah benar.
“Lo mau sampe kapan kayak gini Vin?” tanya Farah. Gue hanya bisa membisu, memikirkan sampai kapan gue bakal kayak begini. Hal yang selalu terjadi saat gue enggak kuat dan mulai kumat. Sebuah abnormalitas yang mengacaukan gue di saat-saat tertentu.
“Lo masih belum ikhlas Vin?” lagi-lagi Farah menanyakan hal yang memecah kebisuan. Tapi gue? Hanya bisa membisu tanpa menjawab sepatah katapun. Pikiran gue masih terpaku pada dia. Dia. Dia.
“Lo bahkan masih nulis namanya di dasar kotak ini loh Vin” sekali lagi Farah memecah kebisuan gue. Kali ini sambil menunjukan dasar kotak putih yang kini isinya berserakan di kamar gue.
“Lo ga kasian sama dia, disana?” kata Farah yang ikut membisu bersama gue. Farah mulai mengisi kotak tersebut dengan isi yang tadi gue keluarkan. Gue hanya bisa liat Farah mulai menyusun isi kotak tersebut, kurang lebih persis seperti bagaimana gue ngeluarinnya. Seakan Farah juga hafal betul susunan setiap lapisan dari isi kotak tersebut.
Dia. Disana. Gue memikirkan lagi kata-kata Farah sebelum dia membereskan kotak putih itu dan tidur disamping gue yang termenung. Mata gue sebenarnya sudah tidak tahan lagi ingin tidur, tapi gue takut rekaman itu terulang di dalam mimpi gue. Gue melihat lagi kotak tersebut, ada sebuah penggaris bertuliskan “Punya Arsitek Vina”. Lucu, karena bahkan gue bukan arsitek, gue juga bukan mahasiswa arsitek. Setidaknya, bukan lagi.
Tidak terasa sekarang jam 3 pagi. Dan tidak kerasa, air mata gue sudah membasahi pipi gue, pipi yang dulu dia suka. Gue kembali teringat gimana saat gue harus mengetahui dia udah ga ada. Dia, Fajar, yang menerangi gue dan memberi gue semangat untuk terus jadi yang lebih baik udah ga ada. Gue masih inget, saat ibunya meluk gue erat, dan bilang makasih udah nemenin dia selama ini. Padahal, gue yang selama ini ngerasa ditemenin dia! Gue masih ga percaya apa yang gue dengar hari itu. Fajar, udah enggak ada lagi.
Semua tawa, tangis, suka, dan duka gue bersama dia ada di kotak ini. Kehilangan dia, membuat gue keluar dari kuliah arsitektur gue dan mengulang semuanya dari awal. Tapi gue masih terus berharap bahwa gue bisa mengulang kenangan gue dan dia lagi. Sudah 3 tahun lewat, dia meninggalkan gue terlalu cepat, dan gue terlalu lambat untuk sadar akan hal itu.
“Lo mau kemana Vin?” suara kantuk Farah yang terbangun saat gue membuka pintu kamar.
“Mau buang kotak ini Far” jawab gue sambil menunjukan kotak putih itu.
“Akhirnya?” tanya Farah mempertanyakan keyakinan gue.
“Fajar yang gue nanti selama ini, ga akan pernah kembali Far” jawab gue sambil berlalu keluar.
“Vin, yang akhirnya, gue mau bantu lo!” tiba-tiba Farah udah meluk gue dari belakang. Gue genggam tangan Farah, sahabat gue yang terbaik yang nemenin gue terus sampai sekarang.
Jam setengah 5 pagi itu, penantian fajar gue berakhir. Fajar akan tenang disana, karena gue sudah ikhlas. Sebentar lagi, akan ada fajar baru yang terbit, menandakan hari baru bagi gue.
“Selamat Pagi Vin” kata Farah

“Selamat Pagi Far” balas gue, menatap pasti kotak putih tadi, berubah hitam. Hangatnya paparan api, tidak terasa membuat gue menyunggingkan senyum diantara air mata gue yang masih mengalir, karena gue sudah ikhlas. Selamat tinggal, Fajar, halo, fajar.


(04:54 24 September 2015)

No comments:

Post a Comment